Sinopsis
Novel Ayah, Mengapa Aku Berbeda?
Karya Agnes Davonar (Penulis Novel SKUT)
3
September 2011 pukul 5:22
Bila semua
teman-temanku bernyanyi, aku hanya bisa terdiam. Aku tidak pernah tau harus
bagaimana mengatakan pada dunia bertapa aku sangat ingin seperti mereka, bisa
mendengar dan bernyanyi layaknya kehidupan normal.
Sayangnya aku
terlahir dengan keadaan tuli, lebih sadisnya terkadang mereka orang-orang yang
tidak pernah mengerti perasaanku berkata kalau aku “ BUDEK” dan itu dituliskan
di kertas untukkku tepat di meja belajarku di kelas.
Tapi aku tidak pernah merasa ingin membalas
semuanya, karena aku sadar inilah hidupku dan inilah takdirku.
Dulu semasa
kecil mungkin aku tidak pernah merasa beban ini begitu besar dalam hidupku,
ketika menyadari aku beranjak remaja dan melihat aku berbeda diantara
sahabat-sahabatku. Di depan mading sekolahku tertulis sebuah pengumuman
pembentukan tim musik sekolah, aku ingin ikut dalam tim itu tapi sayangnya aku
hanya bisa meratapi nasibku. Aku pun pulang untuk bertemu dengan ayah, aku
terduduk dengan wajah penuh kesedihan,
Dalam duniaku,
hanya ayah yang bisa mengerti apa yang aku katakan. Walaupun itu harus dengan
bahasa tangan yang ia pelajari dengan susah payah.
Aku mengetuk pintu untuk memberi tanda aku
ada di kamar untuk bicara dengan ayah, ia melihatku dan melempar senyum.
“ Angel, ayo masuk. Silakan duduk disini
nak, ada apa? Bagaimana pelajaran kelas kamu hari ini?”
Aku tertunduk, lalu ayah mulai bisa membaca
wajahku.
“ Apa yang terjadi nak, ceritakan pada ayah?”
“ Ayah mengapa aku berbeda dari
teman-temanku?”
“ Dalam hal?” tanya ayah padaku,
Aku menangis dan usiaku saat itu hanya 12
tahun dan duduk di sekolah menengah pertama.
“ Aku tidak bisa bernyanyi, tidak bisa
mendengar.. Mengapa ayah?”
Ayah melihatku sambil tersenyum,
“ Apakah kamu merasa bersedih karena itu?”
“ Ya, aku sangat bersedih.. Aku ingin
seperti mereka.. Bisa bernyanyi dan mendengarkan indahnya musik..”
“ Mengapa kamu ingin menjadi seperti
mereka?”
“ Karena aku ingin menjadi tim musik
sekolah, aku ingin ayah..”
“ Kalau begitu lakukan..”
Aku terdiam
tidak bisa membalas pertanyaan ayah kemudian ia bangkit dan mengajakku ke
ruangan gudang di belakang rumahku, ia mulai membersihkan debu-debu di sebuah
meja panjang yang tadinya kupikir adalah meja makan. Ternyata itu adalah piano
klasik. Aku memperhatikanya dengan heran,
“ Ini adalah peninggalan ibumu sebelum ia
meninggal setelah melahirkan kamu, ayah sudah tidak pernah mendengarkannya
sejak kamu terlahir..”
“ Lalu..?” tanyaku.
“ kamu mungkin terlahir tanpa bisa
mendengar dan bernyanyi. Tapi kamu terlahir dari rahim seorang ibu yang
berjuang agar kamu ada di dunia ini dan ayah percaya, Tuhan memberikan kamu
dalam kehidupan karena kamu memang layak untuk itu.”
“ Tapi aku cacat, tidak normal dan tidak
akan pernah bisa mendengar musik? Bagaimana caranya aku bisa seperti
teman-temanku.”
“ Sayang kamu memang tidak bisa
mendengarkan musik, tapi kamu bisa memainkan musik?”
“ Bagaimana caranya?”
“ Ayah ada disini untuk kamu dan
percayalah, musik itu akan terasa indah bila kamu merasakannya dari hati kamu.
“
“ Walaupun aku tidak bisa mendengar..”
Ayah duduk dikursi dan menyuruhku
memperhatikannya bermain piano, Ia menutup matanya lalu memainkan arunan toth
piano itu.
“ Anakku, rasakanlah musik itu dalam hati
dan kamu akan tau bertapa Tuhan sangat mencintai siapapun makluk yang ia
ciptakan. Walaupun kamu terlahir dengan keadaan cacat dan tidak bisa
mendengarkan suara musik itu dari telinga kamu.. Kamu bisa dengarkan lewatkan
hati kamu..”
Ayah mengajakku
untuk menyentuh setiap toth piano dan kami bermain bersama, aku memang tidak
bisa merasakan apa suara music itu tapi aku bisa merasakan nada dari jari yang
ketekan dan itu membuatku bersemangat untuk berlatih piano klasik, aku tau
ibuku adalah seorang pemain piano sebelum ia meninggal saat melahirkanku. Aku
pun berjuang untuk bermain musik dan perlahan aku mampu membuat sedikit alunan
music yang indah. Semua itu kurasakan dalam hatiku, semua itu kurasakan dalam
jiwaku.
Beberapa minggu kemudian, aku mulai berani
mendaftar dalam tim musik sekolahku dan guruku menerimaku walaupun ia tau aku
cacat tapi setelah aku mainkan piano dan ia terkesan. Aku tau semua orang
melihatku dengan aneh, seorang teman bernama Agnes datang padaku.
“ Hai orang cacat, apa yang bisa kamu
lakukan dengan telingamu yang tertutup kotoran?”
Yang lain tertawa dan menambah kalimat yang
melukai hatiku,
“ Dia mungkin mau jadi badut diantara tim
kita, biarkan saja..”
Ejekan itu berakhir saat guruku datang,
mereka semua kembali ke posisi mereka masing dalam alat music yang mereka
kuasai. Ibu guru pembimbing kelas musik bersikap hangat padaku, ia
memperkenalkanku pada semuanya.
“ Anak-anak mulai hari ini Angel akan
bergabung dalam tim kita, semoga kalian bisa berkerja sama dengan Angel ya..”
“ Ibu apa yang bisa lakukan untuk tim kita,
dia kan
budek?” ejek Agnes.
“ Agnes!! ibu tidak pernah mengajarkan kamu
untuk menghina orang lain, jaga sikap kamu. Walaupun Angel cacat secara fisik
ia juga memiliki perasaan, tolong kendalikan kata-kata kamu.”
Aku senang ibu
membelaku tapi itu malah membuat semua membenciku, ibu mempersilakan aku
memainkan piano, dengan gugup aku bisa bermain dengan baik. Tidak ada satupun
tepuk tangan dari teman-temanku, hanya ibu guru seorang. Ketika kelas bubar aku
mendekat pada ibu guru, aku menuliskan apa yang ingin aku katakan kepadanya, Ia
membacanya.
“ Ibu , aku mundur saja dari tim, aku tidak
mungkin bisa menjadi bagian dari mereka. Karena aku ini cacat. Mereka tidak
akan menerimaku?”
“ Tidak sayang, jangan berkata demikian,
kamu special, kamu berbakat, mereka hanya belum terbiasa, percayalah kalau kamu
sudah sering bermain dengan mereka. Kamu akan diterima dengan suka cita. Jadi
ibu tidak mau mendengarkan kalimat kamu ingin mundur..”
“ Tapi bu, aku takut bila membuat semua
jadi kacau.”
“ Anakku, beberapa minggu lagi, sekolah ini
akan merayakan hari ulang tahunnya, ibu percaya kamulah satu-satunya
Aku pulang ke
rumah dan memberi kabar kalau aku diterima dalam tim musik sekolah, ayah begitu
gembira menunggu saat-saat aku akan berada dipanggung, ia terus melatih
permainan pianoku. Aku tidak pernah cerita bertapa aku sangat diremehkan oleh
teman-teman se-timku yang hanya menganggap aku sampah yang tidak layak
disamping mereka. Mereka sering memarahi aku dengan kata-kata kasar lalu mereka
menghinaku sebagai gadis caca, hal itu terus terjadi disaat kami berlatih
persiapan untuk panggung sekolah . Mereka tidak pernah peduli apa yang
kumainkan bila benar, mereka selalu bilang salah. Padahal aku yakin aku
benar-benar memainkan musik piano ini, sedihnya saat aku bertanya dimana letak
kesalahanku yang mereka jawab lebih menyakitkan.
“ Kamu ini tuli dan budek, bagaimana bisa
kamu tau alunan musik yang kamu mainkan itu benar atau salah? Kamu membuat aku
muak dengan sikap kamu yang sok pintar dan mencari muka di depan bu guru.” Kata
Agnes padaku.
Aku menangis
mendengarkan kalimat itu, aku berlari pulang ke rumah dan satu-satunya kalimat
yang kudengar hanya satu. “ Pergi kamu gadis cacat, jangan pernah kembali ke
tim kami, kami tidak sudi menerima kamu dalam kelompok ini.”
Aku menangis
hingga di depan rumahku dan ketika aku tiba di gerbang rumahku, sebuah mobil
ambulan ada didepan rumahku dan membawa ayah. Aku mengejar perawat yang membawa
ayah, ayahku tampak tertidur tanpa bicara, seorang tetanggaku berkata padaku.
“ Ayahmu terkena serangan jantung, kamu
ikut tante saja. Kita pergi bersama-sama ke rumah sakit.”
Aku shock dan menangis! Bagaimana hidupku
tanpa ayah? Sepanjang perjalanan aku terus menitihkan air mata. Ayah tidak
sadarkan diri sejak sakit jantungnya kambuh, ia memang memiliki sakit jantung
sejak menikah padahal usianya masih sangat muda. tiga hari lamanya aku menemani
ayah yang tidak pernah sadarkan diri. Tiga hari pula aku tidak pernah ke
sekolah, bu guru bertanya pada Agnes mengapa aku tidak masuk hari ini?”
“ Mungkin Angel merasa tidak sanggup lagi
bergabung dengan tim kita, dia itu bodoh bu! Selalu melakukan kesalahan dan dia
pergi begitu saja saat latihan dan tidak pernah kembali hingga saat ini.”
Ibu guru mencoba pergi ke rumahku, tapi
tidak ada seorang pun orang dirumahku. Aku tau beberapa hari lagi perayaaan
musik di sekolahku akan dimulai. Mungkin memang sudah menjadi garis tangan
hidupku, aku tidak boleh menjadi tim sekolah. Padahal aku sudah berjuang
maksimal berlatih piano di rumah. Tapi aku tidak bisa berbuat apa-apa selain
menjaga ayahku karena ia lebih penting dalam hidupku, ia satu-satunya sahabatku
yang bisa mengerti keadaan ku setelah ibu meninggal dunia.
Ya Tuhan jangan ambil ayahku, doaku setiap
saat kepadanya
Seminggu kemudian,
Ayah tersadar
dan melihat aku disampingnya. Ia tidak bisa bicara banyak, selain bertanya
mengapa aku disini, mengapa aku tidak berlatih bersama tim musik disekolahku,
aku berpura-pura berkata padanya kalau mereka memberikan aku izin menjaga ayah.
Ayah marah padaku, ia bilang aku harus segera latihan dan ia ingin aku tampil
disana.
“ Jangan pedulikan ayah saat ini, yang
penting kamu harus bisa buktikan kepada semua orang kalau kamu bisa bermain
musik dan tunjukkan kepada mereka kamu gadis yang sempurna ”
Aku tau itu
berat, tapi aku tidak ingin ayah bersedih mendengar penolakkan sahabatku di
sekolah, ia berjanji padaku akan lekas sembuh asal aku terus bersemangat
latihan musik. Akhirnya aku pun pergi ke sekolah kembali dan masuk ke kelas
musik. Ibu guru menyambutku dengan baik, dan langsung memintaku berlatih.
Setelah ia pergi, Agnes dan kawan-kawan mendekatiku, mereka mendorongku hingga terjatuh.
“ Kamu itu makluk Tuhan paling menjijikan,
jangan membuat tim kami malu dengan kehadiran kamu di tim music kami. tidak
punya malu, padahal kami sudah mengusirmu..”
Aku terdiam, seorang teman mengatakan pada
Agnes,
“ Percuma dia tuli, dia ga akan mendengarkan
apa yang kita bicarakan.”
Agnes marah merasa aku tidak mendengarkan
semua kemarahannya, Ia bersama teman-teman mendorongku hingga keluar ruangan,
aku mengetuk pintu dan ketika tanganku berusaha membuka pintu, mereka menjepit
tanganku tanpa ampun, aku berteriak kesakitan dan mereka tidak peduli
“ Astaga dia bisa menjerit juga ya.. kirain
dia itu bisu, bisa teriak juga hahaha “ ledek mereka.
Mereka menyiksaku dan aku tidak berdaya.
Tanganku terasa mati rasa, mungkin jariku patah. Aku meminta tetanggaku untuk
membalut luka ini dan ia sangat terkejut dengan keadaanku. Aku berkata padanya
aku terjatuh di jalan. Tapi aku tidak akan pernah menyerah untuk menjadi tim
musik kelasku. Hingga hari itu tiba, dengan luka balut tanganku aku muncul di
sekolah. Sebelumnya aku mengatakan pada ayah .
“ Ayah hari ini aku akan bermain musik
dihadapan semua orang, ayah harus mendengarkan ya. “
“ Anakku, ayah pasti mendengarkan. Maaf
saat ini ayah sedang sakit, ini adalah hari istemewamu. Tapi ayah sudah
pikirkan bagaimana caranya. Ambil telepon genggam ayah dan biarkan itu menyala
saat kamu mainkan.”
“ Baik ayah.” Aku menuruti ide cermerlang
ayah.
Saat aku keluar ruangan, dokter mengatakan
hal kecil disamping ayah “ Jantung anda melemah, anda harus terus berpikir
positif sehingga cepat sembuh”
“ Anak saya akan manggung hari ini, itu
membuat saya cemas”
“ Percayalah , anak anda adalah gadis luar
biasa..”
Aku menangis menuju sekolahku, Saat aku
tiba di sekolah, Agnes dan kawan-kawan melihatku dengan jijik. Sepertinya mereka
tidak mau aku di panggung, mereka manarik bajuku dan menamparku di belakang
panggung.
“ Pergi cepat, jangan pernah ada disini,
kami akan tampil tanpa kamu. Cepat pergi? Sebelum ibu guru datang”
Tidak, aku tidak akan menyerah walaupun
mereka menyiksaku. Aku sudah berjanji pada ayah untuk bermain musik di acara
sekolah. Karena mereka mendapatkan aku tidak menyerah, akhirnya mereka
mengancam tidak akan tampil dan memaksa aku tampil seorang diri, mereka ingin
membuatku malu.
“ Baiklah, kami tidak akan tampil. Dan
silakan kamu tampil sendirian, jadilah badut diatas panggung..”
Aku tidak mampu berbuat apa-apa ketika
mereka mengikat rambutku layaknya orang bodoh, memoles mukaku dengan cat warna
merah menyerupai badut sirkus. Aku tidak peduli, aku hanya ingin ayah bahagia
dan menepati janji kepada ayah untuk tampil dalam panggung itu. Setelah puas
mendandaniku seperti badut mereka pergi mendorong aku diatas panggung saat ibu
guru yang bertugas menjadi pembaca acara memanggil tim kami dan aku muncul
sendirian, mereka semua berlarian mengumpat.
“ DImana yang lain?” tanya ibu guru,
Aku terdiam, semua orang yang ada di bangku
penonton menertawakan aku, mereka melihat badut yang sedang berada diatas
panggung, aku sungguh tidak bisa berbuat-apa ap.
“ Astaga apa yang terjadi padamu dan yang
lain pergi kemana? Kita tidak akan bisa menjalankan acara music ini.”
Aku mengambil
kertas dan menuliskannya
“ Bu, izinkanlah aku bermain piano ini, aku
sudah berjanji pada ayah untuk bermain piano , ia sedang terbaring lemas di
rumah sakit, jantungnya melemah hari ini, aku takut ia akan semakin buruk bila
tau aku gagal bermain bersama tim musik di sekolah”
Ibu menatapku, ia sadar bertapa aku sangat
sulit.
“ Baiklah mainkanlah piano ini, tunjukkan
pada dunia kalau kamu adalah orang special dengan musikmu”
“ Terima kasih bu.”
Ibu guru memberikan kata-kata sambutan
kepada penonton yang terus tertawa karena melihat badut sepertiku, tapi aku
tidak peduli. Dengan keunggulan 3g, aku mengadakan video call dan ayah
tersenyum padaku memberikan semangat, keletakkan telepon itu diatas meja piano.
“Tuhan bimbing aku agar semua berjalan
dengan baik. Dan dengarkanlah musik ini..”
Setiap denting
musik mulai memecahkan semua tawa yang awalnya menghujatku, menghinaku, arunan
musik ini membawa perjalanan kisahku untuk berjuang menunjukkan pada dunia, aku
memang terlahir cacat, aku tidak pernah tau apa artinya musik, tidak tau
bagaimana suara burung, suara ayah bahkan tragisnya aku tidak pernah tau suara
yang keluar dari mulutku sendiri.
Tapi aku
percaya, aku tercipta bukan tanpa tujuan dalam dunia ini. ketika lagu itu usai
kumainkan, semua berdiri dan memberikan tepuk tangan, aku menangis. ibu guru
memelukku, aku ingin ibu menyampaikan pesanku kepada penonton.
“ Terima kasih,
memberikan aku kesempatan untuk berada ditempat ini. Kini aku tau mengapa aku
berbeda, karena Tuhan mencintaiku. Aku tidak akan marah pada Agnes dan
teman-teman, aku bersyukur karena mereka mengajarkan aku tentang ketekunan dan
ikhlas. Termasuk ayah, yang selalu bilang padaku “ kita tidak perlu merasa
sedih dengan keadaan kita, bagaimanapun bentuknya. Karena Tuhan memberikan kita
nafas kehidupan dengan tujuan hidup masing-masing”
Ya aku percaya itu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar